Raperda Zonasi Pesisir Hanya Rugikan Nelayan
Amuk Bahari Banten Tolak Raperda RZWP3K
ATMnews.id, SERANG – Gubernur Banten Wahidin Halim meyampaikan Nota Gubernur atas usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Sabtu, (11/7/2020).
Menyikapi hal tersebut, Aliansi Masyarakat Untuk keadilan (AMUK) Bahari Banten mendatangi Gedung DPRD Banten di KP3B, Kota Serang, dan diterima langsung Ketua DPRD Banten, Andra Soni.
Salah satu perwakilan Amuk Bahari Banten Mad Haer Effendi menilai, Gubernur Banten tidak menjalankan Pasal 96 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam mengusulkan Raperda RZWP3K.
“Bahwa RZWP3K akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan Nelayan Tradisional dan Nelayan Kecil yang berada di seluruh pesisir Provinsi Banten. AMUK Bahari Banten menolak penyampaian nota Gubernur atas usulan Raperda RZWP3K,” katanya.
Pihaknya menilai, selama ini draft raperda tersebut masih berisi perampasan ruang hidup masyarakat bahari. Terlebih dalam menyusun rancangan peraturan daerah tersebut, Gubernur tidak melibatkan masyarakat nelayan untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan sebagaimana diatur pasal 96 ayat 1 s/d 4 UU No 11 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Raperda ini sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan. Gubernur Banten juga belum pernah melakukan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya dan atau diskusi terkait raperda ini kepada masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan sebagai masyarakat terdampak,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam berbagai kajian dan diskusi yang telah dilakukan AMUK Bahari Banten, draft raperda tersebut disinyalir masih banyak perampasan ruang hidup masyarakat bahari. Mad Haer pun memberikan fakta-fakta yang bisa dijadikan pertimbangan dan alasan kenapa serta mengapa pihaknya memprotes rencana penyampaian nota Gubernur Banten atas usulan.
Pertama, dalam dinamika konstitusi dan rencana strategis pembangunan baik nasional maupun daerah terkait RZWP3K, tidak melibatkan masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil dalam penyusunannya. Rencana zonasi merupakan rencana yang
menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
Kedua, sambungnya, usulan Raperda RZWP3K Provinsi Banten apakah akan memberikan ruang yang adil untuk pemukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. Inilah bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda.
Ketiga, alokasi ruang untuk perikanan tangkap berada di titik-titik terjauh yang kecil kemungkinan tidak dapat diakses oleh nelayan tradisional dengan menggunakan kapal di bawah 10 GT. Selain itu, dengan memperhatikan informasi alokasi ruang di atas, sangat terlihat arah pembangunan laut di provinsi Banten yang berorientasi pembangunan infrastruktur melalui Kawasan Strategis Nasional (KSN) sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten.
Mad Haer juga mengungkapkan, fungsi pengawasan dan legislalasi untuk menolak penyampaian nota Gubernur terkait
Raperda RZWP3K tersebut, sebagai bentuk melindungi rakyat nelayan dari upaya perampasan ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan.
“Raperda RZWP3K pernah diajukan Gubernur Banten sebelumnya pada DPRD Banten periode 2014-2019 dan kami anggap cacat yuridis karena tidak menyertakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diamanatkan dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan tidak melakukan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 49
huruf (e) dan Pasal 50 ayat 6 peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 34/Petmen-KP/2014 Tentang perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” terannya.
Raperda RZWP3K, sambungnya, didorong hanya untuk melegalisasi investasi yang terlanjur ada dan berkonflik dengan masyarakat. Usulan Gubernur Banten atas Raperda RZWP3K Provinsi Banten seyogyanya ditolak DPRD karena bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.
Seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Ketiadaan ruang untuk pemukiman nelayan yang bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU No. 32 tahun 2009, Putusan MK No. 3 Tahun 2010, serta UU 1 tahun 2014 melarang penambangan di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil.
“Negara seharusnya menjamin implementasi putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang mengakui Hak Konstitusi Masyarakat Bahari. Mulai dari hak melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mendapatkan manfaat dari
sumber daya kelautan dan perikanan serta hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun-menurun. Negara harus menghentikan segala bentuk proyek yang ekstraktif dan eksploitatif di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjamin penuh kedaulatan masyarakat bahari,” ujarnya.
“Negara juga harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat, atas hal-hal yang kami sampaikan diatas, kami melayangkan surat protes ini, agar DPRD baik Pimpinan DPRD, dan seluruh ketua Fraksi-fraksi yang ada di DPRD Banten untuk bersama-sama rakyat menolak penyampaian Nota Gubernur Banten, atas inisiasi Raperda RZWP3K yang kami nilai dapat meminggirkan hidup nelayan dalam haknya mengelola ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan,” tandasnya. (Hendra)